Demokrasi Digital: Apakah Sistem Online Bisa Dipercaya?

Demokrasi Digital: Apakah Sistem Online Bisa Dipercaya?

Di era digital, wacana pemilu online dan partisipasi politik berbasis aplikasi semakin sering dibicarakan. Konsep demokrasi digital ini menjanjikan akses lebih luas, partisipasi lebih tinggi, dan transparansi. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah sistem online benar-benar bisa dipercaya?

Beberapa negara sudah mencoba. Estonia, misalnya, menjadi pelopor dengan pemilu berbasis internet sejak 2005. Partisipasi meningkat dan efisiensi biaya tercapai. Namun, tidak semua negara memiliki infrastruktur keamanan yang kuat. Risiko peretasan, manipulasi data, dan kebocoran identitas pemilih masih menjadi momok.

Keunggulan demokrasi digital jelas: pemilih bisa ikut serta tanpa hambatan geografis, transparansi bisa dijaga lewat blockchain, dan hasil bisa dihitung cepat. Generasi muda yang melek teknologi tentu lebih tertarik ikut berpartisipasi lewat sistem ini.

Namun, keraguan juga banyak. Di negara dengan tingkat literasi digital rendah, pemilu online bisa memperlebar kesenjangan. Selain itu, jika kepercayaan publik goyah akibat isu keamanan, legitimasi demokrasi bisa hancur.

Kasus campur tangan asing dalam pemilu AS 2016 menjadi bukti betapa rapuhnya sistem digital. Serangan siber bisa memengaruhi hasil pemilu, bahkan tanpa harus menyentuh mesin fisik.

Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa demokrasi digital adalah masa depan. Dengan pengawasan independen, enkripsi canggih, dan regulasi jelas, sistem ini bisa menjadi solusi untuk meningkatkan partisipasi politik global.

Tantangannya adalah membangun kepercayaan. Demokrasi digital bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal integritas penyelenggara, kesiapan infrastruktur, dan kesadaran masyarakat.

Apakah demokrasi digital bisa dipercaya? Jawabannya tergantung pada komitmen negara dalam mengamankan dan mengelola sistemnya dengan adil.